Novel Ranah Tiga Warna

Novel Ranah Tiga Warna

  • Ide Cerita
  • Latar
  • Alur
  • Gaya Bahasa
  • Desain Sampul
4.7/5Overall Score
Specs
  • Penulis: Ahmad Fuadi
  • Penerbit: Gramedia
  • Tahun Terbit: 2011
  • Genre: Edukasi, Religi, Romansa
  • Jumlah halaman: 473
Pros
  • Cerita dapat menjangkau semua kalangan dan usia
  • Gaya bahasa lebih rapi dan menarik
  • Latar tempat dan suasana lebih hidup
  • Mengandung banyak pesan moral
Cons
  • Pengembangan terhadap beberapa karakter kurang maksimal
  • Minimnya konflik antarkarakter
  • Beberapa transisi antarperistiwa terasa terburu-buru
  • Kualitas kertas pada buku kurang memadai

Novel Ranah Tiga Warna merupakan kelanjutan dari Negeri Lima Menara. Di sini, kita akan menikmati kembali petualangan Alif Fikri yang mulai beranjak dewasa. Alif yang telah menyelesaikan pendidikannya di Pondok Madani berniat untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan bertekad meraih cita-citanya. Bagaimana novel ini akan menjungkirbalikkan perasaan kita?

Sinopsis Novel Ranah Tiga Warna

Sejak lulus dari Pondok Madani, Alif bahkan sudah bisa bermimpi dalam bahasa Arab dan Inggris. Malah, ia memiliki impian yang sangat tinggi. Alif ingin belajar teknologi tinggi di Bandung seperti Habibie, kemudian merantau ke Amerika. Maka, tokoh utama kita ini pun membawa semangat dan tekadnya itu saat ia pulang ke kampung halamannya.

Sayangnya, di Maninjau, kawan karibnya, Randai, meragukan Alif mampu lulus UMPTN. Kemudian, Alif pun sadar bahwa ia tidak memiliki Ijazah SMA. Tanpa, ijazah SMA, apakah ia mampu memburu cita-citanya yang sangat tinggi itu?

Pastinya, Alif tidak akan menyerah. ia mendapat inspirasi dari tim dinamit Denmark dan bertekad untuk mendobrak rintangan berat. Namun, masalah menggempurnya silih berganti bak badai tak berkesudahan. Perlahan, Alif pun merasa lelah. Ia mulai mempertanyakan kembali apakah mungkin cita-citanya terlalu tinggi?  Apakah ia masih sanggup untuk terus bersabar dalam menghadapi semua cobaan hidupnya?

Alif terus berjuang meski tampak terseok-seok. Ia mati-matian menjaga tekadnya sejak dari Pondok Madani agar tak padam. Meskipun untuk itu, ia harus merasakan kerasnya hidup nun jauh dari rumah dan sendirian.

Di Universitas Padjajaran, Bandung, alif mendapatkan teman-teman baru, seperti Agam, Memet, dan Wira. Namun, di tempat itu pula ia berkenalan dengan sosok Bang Togar yang kemudian menggembleng kemampuan menulisnya dengan sangat keras.

Memang, hasil tidak akan mengkhianati usaha. Latihan keras Alif mendapat buah berupa dimuatnya tulisannya pada sebuah majalah. Akan tetapi, takdir seolah menampar Alif agar ia tak terburu-buru berbangga diri. Meninggalnya sang ayah dan tak berbalasnya cintanya kepada Raisa kembali membenamkan Alif dalam rasa duka.

Apakah pintu menuju impian Alif telah sungguh tertutup? Sebuah ingatan mengantar tokoh utama kita kepada sebaris “mantra” baru. Sebab, “mantra” lama, yaitu man jadda wajada haruslah mendapat semacam upgrade. Maka, dengan “mantra” man shabara zhafira, Alif pun terus bangkit dan terus menempa diri.

Kelebihan Novel Ranah Tiga Warna

Cerita Dapat Menjangkau Semua Kalangan dan Usia

Seperti pendahulunya, “Ranah Tiga Warna” juga memiliki daya tarik yang mampu menjangkau berbagai kalangan usia. Novel ini menceritakan perjalanan hidup Alif yang melanjutkan petualangan dan perjuangannya dalam mengejar impian. Maka, pembaca dari berbagai lapisan masyarakat dan usia dapat merasa terhubung dengan kisahnya.

Khususnya, apabila kita merujuk masa-masa ketika Alif masih berstatus mahasiswa. Saat itu, semesta seakan-akan berlomba-lomba menggempur fisik dan hatinya. Inilah bagian yang mungkin sangat mirip dengan perasaan para mahasiswa, terutama mereka yang berada di tanah rantau. Rasa lelah dan kesepian.

Gaya Bahasa Lebih Rapi dan Menarik

Ahmad Fuadi memiliki gaya bahasa yang khas dan mampu menarik perhatian pembaca. Dalam “Ranah Tiga Warna,” gaya bahasanya terus berkembang dan lebih matang, menjadikannya lebih rapi dan memikat. Bahkan, sang penulis mampu menggambarkan perasaan dan situasi dengan cara yang lebih mendalam. Tentunya, hal ini dapat menghadirkan emosi yang kuat dalam pengalaman membaca.

Latar Tempat dan Suasana Lebih Hidup

Jika Negeri 5 Menara menggambarkan kehidupan di pesantren dan sekitarnya, Ranah Tiga Warna membawa kita berselancar dari Padang, Bandung, dan Kanada. Latar tempat dan suasana yang hidup membantu pembaca merasakan atmosfer serta keunikan setiap lingkungan yang menjadi setting cerita.

Hasilnya, hal ini memberi banyak warna pada suasana dan naik-turunnya ketegangan dalam cerita. Dengan demikian, pembaca akan lebih merasakan gejolak sesuai dengan perasaan tokoh di mana saja ia berada.

Mengandung Banyak Pesan Moral

Novel Ranah Tiga Warna juga mengandung banyak pesan moral yang menginspirasi. Kita memang masih akan menemukan makna persahabatan, cinta, keberanian, dan pencarian jati diri. Namun, sisi petualangan dan kejadian-kejadian tak terduga tampak lebih mendominasi. Melalui perjalanan Alif, pembaca dapat mengambil pelajaran berharga mengenai nilai-nilai kehidupan dan bagaimana menghadapi berbagai tantangan.

Kelemahan Novel Ranah Tiga Warna

Pengembangan Terhadap Beberapa Karakter Kurang Maksimal

Salah satu kelemahan dalam “Ranah Tiga Warna” adalah pengembangan karakter yang terasa kurang maksimal. Artinya, beberapa karakter dalam novel mungkin tidak mendapatkan eksplorasi yang cukup dalam. Akibatnya, pembaca tidak dapat merasakan kedalaman dan kompleksitas emosi atau perubahan yang mungkin dari karakter-karakter tersebut.

Misalnya, sosok Bang Togar. Sosok yang memiliki kaitan erat dengan keterampilan tokoh Alif. Mungkin, pembaca yang menantikan kembali kemunculan tokoh Bang Togar dalam sepanjang cerita ini akan merasa kecewa.

Minimnya Konflik Antarkarakter

Meskipun Alif banyak menghadapi konflik dan tantangan, kita tidak melihat adanya intrik atau onflik yang cukup sengit antara karakter-karakter lain. pastinya, hal ini dapat mengurangi dinamika cerita. Konflik antarkarakter dapat memberikan lapisan ketegangan dan drama yang lebih dalam. Dan, pada gilirannya, konflik-konflik tersebut akan menghidupkan kembali plot dan memperkaya hubungan antara karakter-karakter.

Awalnya, saya sempat berharap pada kisah cinta segitiga antara Alif, Randai, dan Raisa. Sayangnya, penulis sepertinya tidak ingin memperluas atau memperdalam porsi romansa tersebut. Padahal, saya merasa banyak poin yang bisa berkembang dari konflik tersebut, selama tidak mengurangi komposisi ide utama cerita.

Beberapa Transisi Antarperistiwa Terasa Terburu-buru

Terkadang, “Ranah Tiga Warna” mungkin mengalami kesulitan dalam mengatur transisi antara peristiwa-peristiwa penting. Beberapa transisi terasa kurang mulus sehingga pembaca dapat merasa sedikit kebingungan atau sulit mengikuti alur cerita yang melompat-lompat. Sebenarnya, Transisi yang baik adalah kunci untuk memastikan kelancaran alur cerita dan menjaga keterlibatan pembaca.

Kualitas Kertas Pada Buku Kurang Memadai

Sebetulnya, hal ini bukan bagian dari elemen cerita itu sendiri. Namun, kualitas fisik buku juga dapat mempengaruhi pengalaman membaca. Jika kualitas kertas pada buku “Ranah Tiga Warna” kurang memadai, kenyamanan pembaca saat membaca pun akan berkurang. Bahkan, tidak jarang hal ini bisa mengurangi daya tahan buku itu sendiri.

Semoga bermanfaat.

rimbapena
rimbapena

Seorang penulis lepas dan pengajar di kota Surabaya yang memiliki dedikasi yang tinggi terhadap penulisan dan concern terhadap sistem pendidikan di Indonesia.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *