Sebagai sekuel dari Sang Pemimpi, Edensor merupakan novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Saya yakin, pembaca akan berulang kali menahan napas atau mengernyitkan dahi saat membacanya untuk pertama kali. Mengapa demikian? Untuk mengetahui alasannya, mari kita simak sinopsis dan ulasan novel Edensor berikut ini.
Table of Contents
Sinopsis dan Ulasan Novel Edensor
Sinopsis Novel Edensor
Setelah menempuh 16 jam perjalanan dari Indonesia, Ikal dan Arai akhirnya tiba di Belanda. Seorang wanita cantik bernama Famke Somers menjemput dan mengantarkan mereka ke tempat untuk menginap. Sayangnya, sebuah kesalahpahaman membuat mereka terpaksa harus bermalam di taman kota. Ikal dan Arai pun harus tidur sambil menahan dingin yang menusuk tulang.
Keesokan harinya, kemalangan tidak serta merta meninggalkan mereka begitu saja. Berlenggang santai di negeri orang dengan tampang kusut dan penampilan yang karut marut membuat Ikal dan Arai mengundang kecurigaan petugas keamanan. Maka, mereka pun harus menjalani penggeledahan. Untungnya, sebuah titik terang hadir dari sosok seorang perempuan bernama Erika.
Dr. Michaela Woodward mengutus Erika untuk menjemput Ikal dan Arai serta mengantar keduanya kembali ke flat mereka. Beberapa waktu kemudian, Ikal dan Arai memutuskan untuk berangkat ke negara yang menjadi tujuan mereka, yaitu Prancis. Ikal dan Arai telah mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah program S-2 mereka di Universite de Paris, Sorbonne.
Sejak memulai perkuliahan, Ikal dan Arai menemukan berbagai orang dari berbagai bangsa. Di antaranya adalah Katya Kristanaema, seorang mahasiswi asal Jerman yang kemudian sempat berpacaran dengan Ikal. Di sisi lain, Ikal sendiri secara otomatis bergabung dalam sebuah kelompok “superhero” bernama The Pathetic Four. Bersama MVRC Manoj, Pablo Arian Gonzales, dan Ninochka Stronovsky, Ikal harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan nilai C dalam hampir setiap mata kuliah.
Keadaan semakin seru ketika Ikal dan Arai memutuskan untuk berkeliling Eropa bermodal nekad semata. Mereka bertemu dengan banyak hal baru yang sangat berkesan. Di sisi lain, tak sedikit pula hal-hal yang memantik kerinduan mereka akan kampung halaman dan kejadian-kejadian di masa lalu. Semuanya pantas untuk membayar jarak dari dinginnya Rusia hingga tandusnya Sahara.
Ulasan Novel Edensor
Mengawali sinopsis dan ulasan novel ini, Matang adalah kata yang paling ringkas untuk menggambarkan kesan saya untuk Edensor. Sebagaimana dua karya sebelumnya, Andrea masih menggunakan pesona sebuah mosaik dalam kemasan penceritaannya. Namun, dalam novel ketiganya ini, ia mengeksplisitkan kata mosaik itu dalam judul setiap fragmen ceritanya. Dengan demikian, Andrea mengajak para pembacanya untuk menikmati pengalaman dan petualangan Ikal dari berbagai sisi.
Sisi pertama adalah sisi mahasiswa, sisi intelektualnya kaum muda. Saya menjadi teringat seorang dosen di kampus tercinta saya dulu. Beliau mengatakan bahwa jika SMA adalah masa-masa terindahmu, universitas adalah masa-masa keemasanmu. Saya sangat berterima kasih karena Andrea telah membawa saya merasakan masa keemasan itu kembali dengan Edensor-nya. Bukan, saya bukan mahasiswa Sorbonne, tetapi saya memiliki segudang masa yang memang lebih dari indah saat berkuliah.
Sisi berikutnya adalah sisi pribumi. Bagaimanapun jauhnya Ikal dan Arai dari tanah air mereka, keduanya tetaplah anak kampung Belitong. Kepingan-kepingan ingatan mereka mewujud dalam mosaik-mosaik yang menceritakan sisi pribumi itu. Mereka menunjukkan rasa bangga, takjub, rindu, dan haru yang membuat kita seolah tengah berada dalam roller coaster. Setinggi apa pun kita mengangkat dagu, kita tak pernah lebih besar dari sebutir debu. Kira-kira, demikianlah saya mengungkapkan eksistensi kedua tokoh utama dalam novel ini.
Sinopsis dan Ulasan Novel Edensor
Lalu Apa itu Edensor?
Akan lebih baik jika Anda membaca langsung novel ini untuk mengetahui apa sebenarnya Edensor. Dalam tulisan yang singkat dan penuh kekurangan ini, saya hanya bisa mengungkapkan bahwa Edensor adalah sebuah kelegaan. Sebuah perasaan lega yang timbul setelah kita melakukan berbagai hal yang awalnya hanya sebatas mimpi. Sebuah perasaan yang mirip dengan hilangnya dahaga usai meminum air segar dari sebuah pengalaman.
Benar, saya menyebut pengalaman sebagai air segar di sini, bukan asam garam. Sebabnya, Anda akan mendapatkan apa yang disebut asam garam itu dalam novel ini melalui tokoh bernama Weh. Tanpa mengesampingkan hal itu, Edensor telah berhasil menipiskan batas antara imajinasi dan realitas. Ikal menemukan Edensornya setelah ia melakukan perjalanan yang entah berapa jauhnya secara harfiah.
Di sisi lain, hal ini jugalah yang menjadi awal dari sisi lemah dalam karya ketiganya ini. Ibarat peribahasa, sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu jatuh juga. Pembaca dapat menemukan gambaran tersebut dalam kondisi Arai menjelang akhir cerita nanti. Selain itu, meski masih menunjukkan gaya tuturan sebagai kekuatannya, Edensor akan menanamkan lebih banyak tanda tanya jika Anda mencari runutan yang standar dari sebuah peristiwa.
Sebuah Labirin Kehidupan
“Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka.”
Sebagaimana kutipan itu mengalun, seperti itulah saya merasakan sensasi saat membaca novel ini. Mungkin, memang demikianlah kehidupan. Kita tidak akan tahu apa yang akan kita hadapi nanti, seperti kita tak akan bisa kembali ke satu detik yang tadi. Dalam akhir sinopsis dan ulasan novel Edensor ini, saya hanya bisa mengajak pembaca sekalian untuk jangan ragu membacanya! Saya berharap novel ini akan melegakan perasaan Anda. Semoga bermanfaat dan terima kasih.